Isnin, 1 Mac 2010

Berittiba’ kepada Nabi صلى الله عليه وآله وسلم

Kalam al-Mukarram al-Habib Ali bin ‘Abdurrahman al-Jufri حفظه الله

Aku bermohon ampun kepada Allah seraya merasa malu kepada Allah. Alhamdulillah yang telah menjadikan kita sebagai umat dari kekasihNya dan manusia pilihanNya. Alhamdulillah yang telah menjadikan kita sebagai umat dari manusia terpilih yang Allah telah menentukan hal itu dan mensucikannya. Alhamdulillah yang telah menjadikan keberuntungan kita dengan Sayyidina Muhammad diantara para Nabi dan menjadikan kita sebagai keberuntungannya diantara para umat. صلى الله عليه وآله وسلم.


Dan aku bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan kecuali Allah, Tuhan satu-satunya yang tiada sekutu bagiNya, suatu kesaksian yang cahayanya terpahat dalam kalbu-kalbu dari pintu kesungguhan ittiba’ (mengikuti) kepada al-Habib صلى الله عليه وآله وسلم yang tercinta. Dan aku bersaksi bahwasanya Junjungan kita, Kekasih kita, Penyejuk Mata-mata kita, Baginda kita, Cahaya kalbu-kalbu kita, Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya. Kekasih yang terpilih, pemimpin orang-orang yang tulus, penghulu para penyuluh, yang dengan rasa cinta, ittiba’ dan ta’dhim (pengagungan) kepadanya, Allah akan memuliakan siapa saja yang memuliakan (Baginda صلى الله عليه وآله وسلم), memberikan karunia kepada siapa saja yang memberikan sesuatu (kepada Baginda صلى الله عليه وآله وسلم), mendekatkan siapa saja yang mendekat (kepada Baginda صلى الله عليه وآله وسلم). Shallallahu wasallam wa baraka alaihi wa ala alihi. Shalawat dan salam yang tiada terhenti banyaknya dan tiada habis karunianya, semoga dengan keduanya (sholawat dan salam tadi) kita tercatat sebagai golongan yang dicintaiNya daripada kelompok yang didahulukan dengan kebahagiaan yang paling besar di dunia dan di akhirat.



Berbicara mengenai Junjungan Para Makhluk صلى الله عليه وآله وسلم adalah suatu perbincangan yang dapat mengikat perhatian, tiada pernah berhenti dan tiada pernah habis. Akan tetapi, ketika berbicara di majlis-majlis seperti ini, sesungguhnya jalan menuju Allah عزوجل daripada keterhubungan makhluk dengan penciptanya, adalah kita harus mengetahui jalan menuju Allah itu melalui siapa? Perhatian kita kepada Allah عزوجل itu melalui siapa harus kita kerahkan?. Ketika suatu kaum mengaku cinta kepada Allah Jalla Jalaaluhu wa Ta’alat ‘Adhomatuhu, Allah berfirman kepada junjungan kita Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم,

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ

“Katakanlah, jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku, maka Dia akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Aali ‘Imran: 31)


Maka keterhubungan kita dengan Baginda صلى الله عليه وآله وسلم, adalah pintu keterhubungan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah berfirman kepada Sayyidina Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم,
“Katakanlah, jika kalian mencintai Allah…” …….. (seakan-akan Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم disuruh berkata):
“Jika tampak dalam diri kalian kesungguhan rasa cinta kepada Allah عزوجل, maka pintu cinta kepada Allah عزوجل, adalah saya inilah representasinya, maka ikutilah aku.”

Renungkanlah “ikutilah aku”, maka (disana) tidak dikatakan “ikuti petunjuknya”, tidak cukup seperti itu, atau (tidak dikatakan) cukup hanya sunnahnya, atau (tidak dikatakan) cukup hanya manhajnya, ataupun (tidak dikatakan) cukup hanya kitab yang diturunkan kepadanya, akan tetapi Allah memberikan petunjukNya agar mengarahkan kalbu-kalbu umat kepada sosok Baginda صلى الله عليه وآله وسلم, dalam dzatnya, sifatnya, akhlaknya, petunjuknya, manhajnya, syariahnya, muamalahnya, agama (yang dibawa)nya, dan kitab yang diturunkan kepada Baginda صلى الله عليه وآله وسلم. Dan Allah menuntun kita kepada Baginda صلى الله عليه وآله وسلم.

Allah menjadikan irtiqo’ (naiknya darjat) seorang hamba untuk mencari cinta kepada Allah عزوجل, jika datang dari arah Baginda صلى الله عليه وآله وسلم. Allah tidak menjadikan bahwa buah hasilnya itu adalah engkau mencintai Allah, akan tetapi buah hasilnya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mencintaimu. Jika engkau mencari cinta kepada Allah, dan engkau memahami arti isyarat dan berbeloknya (rasa cinta) kepada kekasihNya dan manusia pilihanNya, maka buah hasilnya dengan perantaraan ini adalah naiknya darjatmu daripada orang yang cinta kepada Allah sampai darjat mahbubiyyah, sehingga engkau akan menjadi dicintai oleh Allah عزوجل.

Maka jadikanlah sebagai nikmat, muliakanlah, kepada seorang hamba yang dicintai di sisi Tuhannya, manusia yang dekat (di sisiNya), yang dapat dipercaya dalam menyampaikan sesuatu dan amanah. Keterhubungan dengannya dapat merubah seorang hamba dari derajat khotib (yang mencari dan meminta) menjadi makhtub (yang dicari dan diminta), dari derajat roghib (yang menginginkan) menjadi marghub (yang diinginkan), dari derajat mutaqorrib (yang mendekatkan diri kepadaNya) menjadi mutaqorrab ilaihi (yang didekatkan diri kepadaNya).

Makna inilah yang menjadikan para sahabat radhiyallahu anhum wa ardhahum sebagai orang-orang yang paling meningkat derajatnya dalam mengambil sesuatu dari Al-Habib صلى الله عليه وآله وسلم diantara para umat Baginda صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka (para sahabat) adalah orang-orang yang dipilih oleh Allah. Allah telah memilih mereka (para sahabat) untuk menjadi orang-orang penerima dari Nabi صلى الله عليه وآله وسلم, untuk menjadi khazanah (tempat untuk menyimpan) apa-apa yang disampaikan oleh Al-Habib صلى الله عليه وآله وسلم sehingga dapat dipakai sebagai bekal bagi para umat sesudahnya generasi demi generasi. Mereka (para sahabat) mengerti makna ini. Mereka tidak hanya melihat kepada Sayyidina Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم dikarenakan Baginda صلى الله عليه وآله وسلم membawa risalah. Sungguh Baginda صلى الله عليه وآله وسلم telah menyampaikan risalah dan mereka menerima risalah yang dibawa tersebut dan menjalaninya. Akan tetapi mereka melihat kepada Baginda صلى الله عليه وآله وسلم karena sesungguhnya beliau inilah yang sebenar-benarnya risalah.

Perbedaan orang yang berhubungan dengan Al-Habib صلى الله عليه وآله وسلم karena mengingat bahwa sesungguhnya Baginda صلى الله عليه وآله وسلم membawa al-muhimmah (sesuatu yang penting) yang telah dilaksanakannya, kemudian menunaikannya dan ia sibuk dengan al-muhimmah tadi, dengan orang yang menganggap Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم itu sendiri yang sebagai al-muhimmah, adalah bahwa orang yang kedua ini memahami ayat “ikutilah aku” dengan segenap yang ada pada diri Baginda صلى الله عليه وآله وسلم. Para sahabat menjalani atas makna ini, maka mereka mencintai Baginda صلى الله عليه وآله وسلم dengan seluruh yang ada pada diri Baginda صلى الله عليه وآله وسلم. Dan arti mereka (para sahabat) mengikuti Rasulullah dengan seluruh yang ada pada diri Baginda صلى الله عليه وآله وسلم adalah mereka sampai pada batas ketinggian ittiba’.

Sumber: Bisyarah


0 komen:

Related Posts with Thumbnails